Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur’an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.
For Islamic liberals, the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.
Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis. Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik. Read the rest of this entry »